Manusia dan Keadilan
Dalam hidupdan kehidupan, setiap manusia dalam melakukan
aktifitasnya pasti pernah menemukan perlakuan yang tidak adil atau bahkan
sebaliknya, melakukan hal yang tidak adil. Dimana pada setiap diri manusia
pasti terdapat dorongan atau keinginan untuk berbuat kebaikan “jujur”. Tetapi
terkadang untuk melakukan kejujuran sangatlah tidak mudah dan selalui
dibenturkan oleh permasalahan – permasalahan dan kendala yang dihadapinya yang
kesemuanya disebabkan oleh berbagai sebab, seperti keadaan atau situasi, permasalahan
teknis hingga bahkan sikap moral.
Dampak positif dari keadilan itu sendiri dapat membuahkan
kreatifitas dan seni tingkat tinggi. Karena ketika seseorang mendapat perlakuan
yang tidak adil maka orang tersebut akan mencoba untuk bertanya atau melalukan
perlawanan “protes” dengan caranya sendiri. Nah… cara itulah yang dapat
menimbulkan kreatifitas dan seni tingkat tinggi seperti demonstrasi, melukis,
menulis dalam bentuk apabun hingga bahkan membalasnya dengan berdusta dan
melakukan kecurangan.
Keadilan adalah pengakuan atas perbuatan yang seimbang,
pengakuan secara kata dan sikap antara hak dan kewajiban. Setiap dari kita
“manusia” memiliki itu “hak dan kewajiban”, dimana hak yang dituntut haruslah
seimbang dengan kewajiban yang telah dilakukan sehingga terjalin harmonisasi
dalam perwujudan keadilan itu sendiri.
Keadilan pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi
setiap manusia dibumi ini dan tidak akan mungkin dapat dipisahkan dari
kehidupan. Menurut Aristoteles, keadilan akan dapat terwujud jika hal – hal
yang sama diperlakukan secara sama dan sebaliknya, hal – hal yang tidak
semestinya diperlakukan tidak semestinya pula. Dimana keadilan memiliki cirri
antara lain ; tidak memihak, seimbang dan melihat segalanya sesuai dengan
proporsinya baik secara hak dan kewajiban dan sebanding dengan moralitas. Arti
moralitas disini adalah sama antara perbuatan yang dilakukan dan ganjaran yang
diterimanya. Dengan kata lain keadilan itu sendiri dapat bersifat hokum.
Keadilan itu sendiri memiliki sifat yang bersebrangan dengan
dusta atau kecurangan. Dimana kecurangan sangat identik dengan perbuatan yang
tidak baik dan tidak jujur. Atau dengan kata lain apa yang dikatakan tidak sama
dengan apa yang dilakukan.
Kecurangan pada dasarnya merupakan penyakit hati yang dapat
menjadikan orang tersebut menjadi serakah, tamak, rakus, iri hati, matrealistis
serta sulit untuk membedakan antara hitam dan putih lagi dan mengkesampingkan
nurani dan sisi moralitas.
Ada beberapa faktor yang dapat
menimbulkan kecurangan antara lain ;
1. Faktor ekonomi. Setiap berhak hidup layah dan
membahagiakan dirinya. Terkadang untuk mewujudkan hal tersebut kita sebagai
mahluk lemah, tempat salah dan dosa, sangat rentan sekali dengan hal – hal
pintas dalam merealisasikan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Menghalalkan
segala cara untuk mencapai sebuah tujuan semu tanpa melihat orang lain
disekelilingnya.
2. Faktor Peradaban dan Kebudayaan sangat mempengaruhi
dari sikapdan mentalitas individu yang terdapat didalamnya “system kebudayaan”
meski terkadang halini tidak selalu mutlak. Keadilan dan kecurangan merupakan
sikap mental yang membutuhkan keberanian dan sportifitas. Pergeseran moral saat
ini memicu terjadinya pergeseran nurani hamper pada setiapindividu didalamnya
sehingga sangat sulit sekali untuk menentukan dan bahkan menegakan keadilan.
3. Teknis. Hal ini juga sangat dapat menentukan arah
kebijakan bahkan keadilan itu sendiri. Terkadang untuk dapat bersikapadil,kita
pun mengedepankan aspek perasaan atau kekeluargaan sehingga sangat sulit sekali
untuk dilakukan. Atau bahkan mempertahankan keadilan kita sendiri harus
bersikap salah dan berkata bohong agar tidak melukai perasaan orang lain.
Dengan kata lian kita sebagai bangsa timur yang sangat sopan dan santun.
4. dan lain sebagainya.
Keadilan dan kecurangaan atau ketidakadilan tidak akan dapat
berjalan dalam waktu bersamaan karena kedua sangat bertolak belakang dan
berseberangan.
Definisi Keadilan
Kata “adil” digunakan dalam empat hal: Keseimbangan, Persamaan dan
Nondiskriminasi, Pemberian Hak kepada yang Berhak, dan Pelimpahan
Wujud Berdasarkan Tingkat dan Kelayakan.
1. KEADILAN: Keseimbangan.
Adil disini berarti keadaan yang seimbang. Apabila kita melihat
suatu sistem atau himpunan yang memiliki beragam bagian yang dibuat untuk
tujuan tertentu, maka mesti ada sejumlah syarat, entah ukuran yang tepat pada
setiap bagian dan pola kaitan antarbagian tersebut. Dengan terhimpunnya semua
syarat itu, himpunan ini bisa bertahan, memberikan pengaruh yang diharapkan
darinya, dan memenuhi tugas yang telah diletakkan untuknya.
Misalnya, setiap masyarakat yang ingin bertahan dan mapan harus
berada dalam keadaan seimbang, taitu segala sesuatu yang ada di dalamnya harus
muncul dalam proporsi yang semestinya, bukan dalam proporsi yang setara. Setiap
masyarakat yang seimbang membutuhkan bermacam-macam aktifitas. Di antaranya
adalah aktifitas ekonomi, politik, pendidikan, hukum, dan kebudayaan. Semua
aktifitas itu harus didistribusikan di antara anggota masyarakat dan setiap
anggota harus dimanfaatkan untuk suatu aktifitas secara proporsional.
Keseimbangan sosial mengharuskan kita untuk memerhatikan neraca
kebutuhan. Lalu, kita mengkhususkan untuknya anggaran yang sesuai dan
mengeluarkan sumber daya yang proporsional. Manakal sudah sampai disini, kita
menghadapi persoalan “kemaslahatan”, yakni kemaslahatan masyarakat yang
dengannya kelangsungan hidup “keseluruhan” dapat terpelihara. Hal ini lalu
mendorong kita untuk memerhatikan tujuan-tujuan umum yang mesti dicapai. Dengan
perspektif ini, “bagian” hanya menjadi perantara dan tidak memiliki perhitungan
khusus.
Demikian pula halnya dengan keseimbangan fisik. Mobil, misalnya,
dibuat untuk tujuan tertentu dan untkmkebutuhan-kebutuhan tertentu pula.
Karenanya, apabila mobil itu hendak dibuat sebagau produk yang seimbang, mobil
itu harus dirancang dari berbagai benda mengikuti ukuran yang proporsional
dengan kepentingan dan kebutuhannya. Begitu pula halnya dengan keseimbangan
kimiawi. Setiap senyawa kimiawi memiiki stuktur, pola, dan proporsional
tertentu pada setiap unsur pembentuknya. Apabila hendak meniciptakan senyawa
itu, kita mesti menjaga struktur dan proporsi di atas sehingga tercipta suatu
keseimbangan dan simetris. Kalau tidak, alam tidak dapat tegak dengan baik,
tidak pula ada sistem, perhitungan, dan perjalanan tertentu di dalamnya.
Al-Qur’an menyatakan:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ
Dan Allah telah meninggikan langit
dan Dia meletakkan neraca (keadilan). QS. Al-Rahman [55]: 7
Ketika membahas ayat di atas, para ahli tafsir menyebutkan bahwa
yang dimaksud oleh ayat itu adalah keadaan yang tercipta secara seimbang.
Segala obyek dan partikelnya telah diletakkan dalam ukuran yang semestinya.
Tiap-tiap divisi diukur secara sangat cermat.
Dalam suatu hadis, Nabi Saw bersabda: “Dengan keadilan, tegaklah
langit dan bumi.” (Tafsir Al-Shafi, tentang QS. Al-Rahman [55]: 7)
Lawan keadilan, dalam pengertian ini, adalah
“ketidakseimbangan”, bukan “kezaliman”.
Banyak orang yang berupaya menjawab semua kemusykilan dalam
keadilan Ilahi dari perspektif keseimbangan dan ketidakseimbangan alam, sebagai
ganti dari perspektif keadailan dan kezaliman. Merteka puas dan berusaha untuk
puas dengan pandangan bahwa semua diskriminasi yang terjadi, baik disertai
alasan ataupun tidak, dan semua kejahatan yang ada, sebenarnya merupakan
keharusan dan keniscayaan sistem alam yang menyeluruh. Tidak diragukan lagi
bahwa eksistensi obyek tertentu merupakan keniscayaan bagi keseimbangan alam
secara historis. Tetapi, solusi ini tidak menjawab keberatan seputar terjadinya
kezaliman.
Kajian tentang keadilan dalam pengertian “keseimbangan”, sebagai
lawan ketidakseimbangan, akan muncul jika kita melihat sistem alam sebagai
keseluruhan. Sedangkan, kajian tentang keadilan dalam pengertian sebagai lawan
kezaliman dan yang terjadi ketika kita melihat tiap-tiap individu secara
terpisah-pisah adalah pembahasan yang lain lagi. Keadlian dalam pemgertian
pertama menjadikan “maslahat umum” sebagai persoalan. Adapun keadilan dalam
pengertian kedua menjadikan “hak individu” sebagai pokok persoalan. Karenanya,
orang yang mengajukan keberatan akan kembali mengatakan, “Saya tidak menolak
prinsip keseimbangan di seluruh alam, tapi saya mengatakan bahwa pemeliharaan
terhadap keseibangan ini, mau tidak mau, akan mengakibatkan munculnya
pengutamaan tanpa dasar (tarjih bila murajjih). Semua pemgutamaan ini, dari
sudut pandang keseluruhan dapat diterima dan relevan. Tapi, dari sudut pandang
individual, ia tetap tidak dapat diterima dan tidak relevan.”
Keadilan dalam pengertian “simetri” dan “proporsi” termasuk dalam
konsekuensi sifat Mahabijak dan Maha Mengetahui Allah. Berdasarkan ilmu-Nya
yang komprehensif dan kebijaksanaan-Nya yang meyeluruh. Dia mengetahui bahwa
penciptaan sesuatu meniscayakan proporsi tertentu dari berbagai undur. Dia
menyusun unsur-unsur itu untuk menciptakan bangunan tersebut.
2. KEADILAN: Persamaan dan Nonkontradiksi.
Pengertian keadilan yang kedua ialah persamaan dan penafian
terhadap diskriminasi dalam bentuk apapun. Ketika dikatakan bahwa “Si Fulan
adalah orang adil”, yang dimaksud adalah bahwa Fulan itu memandang semua
individu secara sama rata, tanpa melakukan pembedaan dan pengutamaan. Dalam
pengertian ini, keadilan sama dengan persamaan.
Definisi keadilan seperti itu menuntut penegasan: kalau yang
dimaksud dengan keadilan adalah keniscayaan tidak terjaganya beragam kelayakan
yang berbeda-beda dan memandang segala sesuatu dan semua orang secara sama
rata, keadilan sepeeti ini identik dengan kezaliman itu sendiri. Apabila
tindakan memberi secara sama rata dipandang sebagai adil, maka tidak memberi
kepada semua secara sama rata juga mesti dipandang sebagai adil. Anggapan umum
bahwa “kezaliman yang dilakukan secara sama rata kepada semua orang adalah
keadilan” berasal dari pola pikir semacam ini.
Adapun kalau yang dimaksud dengan keadilan adalah terpeliharanya
persamaan pada saat kelayakan memang sama, pengertian itu dapat diterima.
Sebab, keadilan meniscayakan dan mengimplikasikan persamaan seperti itu.
Pengertian adil ini terkait dengan makna keadilan ketiga [Keadilan: Pemberian
Hak kepada Pihak yang Berhak] yang akan dijelaskan nanti.
3. KEADILAN: Pemberian Hak kepada Pihak yang Berhak.
Pengertian ketiga keadilan ialah pemeliharaan hak-hak individu
dan pemberian hak kepada setiap obyek yang layak menerimanya. Dalamartian iniu,
kezaliman adalah pelenyapan dan pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain.
Pengertian keadilan ini, yaitu keadilan sosial, adalah keadilan yang harus
dihormati di dalam hukum manusia dan setiap individu benar-benar harus berjuang
untuk menegakkannya. Keadilan dalam pengertian ini bersandar pada dua hal:
Pertama: hak dan prioritas, yaitu adanya berbagai hak dan
prioritas sebagai individu bila kita bandingkan dengan sebagian lain. Misalnya,
apabila seseorang mengerjakan sesuatu yang membutuhkan hasil, ia memiliki
prioritas atas buah pekerjaannya. Penyebab timbulnya prioritas dan preferensi
itu adalah pekerjaan dan aktifitasnya sendiri. Demikian pula halnya dengan
bayi. Ketika dilahirkan oleh ibunya, ia memiliki klaim prioritas atas air susu
ibunya. Sumber prioritas itu adalah rencana penciptaan dalam bentuk sistem
keluarnya air susu ibu untuk bayi tersebut.
Kedua, karakter khas manusia, yang tercipta dalam bentuk yang
dengannya manusia menggunakan sejumlah ide i’tibaritertentu sebagai “alat
kerja”, agar dengan perantaraan “alat kerja” itu, ia bisa mencapai
tujuan-tujuannya. Ide-ide itu akan membentuk serangkaian gagasan “i’tibari”
yang penentuannya bisa dengan perantara “seharusnya”. Ringkasannya, agar tiap
individu masyarakat bisa meraih kebahagiaan pelihara. Pengertian keadilan
manusia seperti itu diakui oleh kesadaran semua orang. Sedangkan titiknya yang
berseberangan adalah kezaliman yang ditolak oleh kesadaran semua orang.
Penyair Mawlawi mengatakan:
Apakah keadilan? Menempatkan sesuatu
pada tempatnya
Apakah kezaliman? Menempatkan sesuatu
bukan pada tempatnya
Apakah keadilan? Engkau menyiram air
pada pepohonan
Apakah kezaliman? Engkau siramkan air
pada duri
Kalau kita letakkan “raja” di tempat
“benteng”, rusaklah permainan (catur)
Kalau kita letakkan “menteri” di
tempat “raja”, bodohlah kita
Pengertian keadilan dan kezaliman ini pada satu sisi bersandar
pada asas prioritas dan presedensi, dan pada sisi lain bersandar pada asas
watak manusia yang terpaksa menggunakan sejumlah konvensi untuk merancang apa
yangf “seharusnya” dan apa yang “tidak seharusnya” serta mereka-reka “baik dan
buruk”. Pengertian keadilan dan kezaliman yang berpijak pada kedua asas di atas
hanya khusus menyangkut bidang kehidupan manusia dan tidak mencakup bidang
ketuhanan. Karena, sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya, Dia adalah Pemilik
Mutlak, maka Dia pulalah yang secara mutlak memiliki prioritas atasa segala
sesuatu. Jika Dia memperlakukan sesuatu dengan cara tertentu, pada dasarnya Dia
telah memperlakukan sesuatu yang terikat dengan-Nya dalam eksistensi totalnya,
dan itu merupakan miliki mutlak-Nya.
Kezaliman dalam pengertian di atas, yakni pelanggaran prioritas
dan hak pihak lain, tidak mungkin terjadi pada Allah. Sebab, kita tidak mungkin
dapat menemukan contoh-contoh kasus terjadinya kezaliman Allah pada makhluk dalam
konteks ini.
4. KEADILAN: Pelimpahan Wujud Berdasarkan Tingkat dan
Kelayakan.
Pengertian keadilan yang keempat ialah tindakan memelihara
kelayakan dalam pelimpahan wujud, dan tidak mencegah limpahan dan rahmat pada
saat kemungkinan untuk mewujudkan dan menyempurna pada itu telah tersedia. Pada
bagian yang akan datang, saya akan menjelaskan bahwa sistem ontologis ini,
tiap-tiap maujud berbeda-beda dalam hal kemampuan menerima eminasi dan karunia
dari Sumber Wujud. Semua maujud, pada tingkatan wujud yang mana pun, memiliki
kelatakan khas terkait kemampuannya menerima eminasi tersebut. Dan mengingat
Zat Ilahi yang Kudus adalah Kesempurnaan Mutlak dan Kebaikan Mutlak yang
senantiasa memberi emanasi, maka Dia pasti akan memberikan wujud atau
kesempurnaan wujud kepada setiap maujud sesuai dengan yang mungkin diterimanya.
Jadi, keadilan Ilahi, menurut rumusan ini, berarti bahwa setiap
maujud mengambil wujud dan kesempurnaan wujudnya sesuai dengan yang layak dn
yang mungkin untuknya. Para ahli hikman (teosof) menyandang sifat adil kepada
Allah Swt dalam pengertian yang sedang kita bicarakan sekarang ini, agar
sejalan dengan (ketinggian ) Zat Allah Swt dan mejadi sifat sempurna bagi-Nya.
Begitu juga kezaliman yang mereka nafikan dari Allah Swt sebagai kekurangan bagi-Nya.
Para teosof berkayinan bahwa sesuatu yang maujud tidak memiliki
hak atas Allah, sedemikian sehingga pemberian hak itu merupakan sejenis
pelunasan utang atau pelaksanaan kewajiban. Dan bila sudah dipenuhi, Allah bisa
dipandang adil karena Dia telah melaksanakan segenap kewajiban-Nya terhadap
pihak-pihak lain secara cermat. Keadilan Allah sesungguhnya identik dengan
kedermawanan dan kemurahan-Nya. Maksudnya, keadilan-Nya berimplikasi bahwa
kemurahan-Nya tidak tertutup bagi semua maujud semaksimal yang mungkin
diraihnya. Pengertian itulah yang dimaksud oleh Imam ‘Ali as dalam khutbah 214
dalam Nahj Al-Balaghah, “ Sesungguhnya, hak itu tidak terdiri di satu
pihak. Setiap orang berhak atas piak lain, pihak lain pun berhak atas pihak
pertama. Zat Allah dikecualikan dari kaidah ini karena Dia memiliki hak
terhadap segala sesuatu segala sesuatu tidak memiliki selain tanggungt jawab
dan taklif terhadap Pencipta-Nya. Tidak ada yang memiliki hak apa pun pada
Pewujudnya.”
Apabila melalui tolok ukur yang paling tepat ini kita bermaksud
meniliti berbagai persoalan, kita harus melihat persoalan yang dipandang
sebagai “kejahatan” atau “pengutamaan tanpa keutamaan” atau “kezaliman” sembari
bertanya: Apakah ada suatu maujud yang memiliki kemungkinan untuk mewujud, tapi
(terbukti) tidak mewujud? Apakah ada maujud yang memiliki kemungkinan
menyempurna dalah sistem universal, tapi terbukti tidak memperoleh kesempurnaan
tersebut?apakah setiap maujud telah diberi apa “yang seharusnya diberikan”
padanya? Maksudnya, apakah Allah menggantikan kebaikan dan rahmat dengan
sesuatu yang bukan kebaikan dan rahmat, melainkan kejahatan dan bencana; bukan
kesempurnaan, melainkan kekurangan?
Dalam Al-Asfar, jilid II, Bab “Al-Shuwar Al-Nau’iyyah (Forma-Forma Spesifik), dibawah pasal
berjudul “Kayfiyat Wujud Al-Ka’inat Al-Haditsah
bi Hudutsi Al-Zaman (Modus Eksistensi Berbagai Entitas
yang Bermula dalam Waktu), Mullah Shadra mengisyaratkan konsep keadilan Ilahi
dan pengertiannya yang sejalan dengan cita rasa para teosof. Dia menuliskan:
“Berdasarkan uraian lampau, kau sudah tahu bahwa materi (maddah)
dan forma (shurah) adalah dua kausa bagi (eksistensi) benda-benda fisik. Dari
bahasan ihwal interdependensi keduanya, bisa disimpulkan keniscayaan adanya
kausa efisien yang bersifat metafisik. Pada pokok bahasan tentang
gerakan-gerakan universal (al-harakat al-kulliyyah), kita akan membuktikan
bahwa tiap gerakan itu memiliki tujuan akhir yang metafisik. Kausa efisien dan
tujuan metafisik itu adalah dua kausa jauh bagi (eksisitensi) semua benda
fisik. Sekiranya kedua kausa jauh itu cukup untuk mewujudkan benda-benda alam
fisik, niscaya semua benda fisik ini akan bersifat kekal, tidak akan meniada.
Lebih dari itu, segenap kesempurnaan yang layak untuknya telah ada sejak
semula, awal wujudnya akan identik dengan akhir wujudnya. Namun, kedua kausa iu
tidaklah mencukupi sehingga ada dua kausa dekat yang juga berefek padanya,
yaitu materi dan forma.
“Pada satu sisi, terdapat oposisi dalam forma (suatu benda) dan
tingkat-tingkat awal forma itu cenderung punah. Pada sisi lain, tiap materi
berpotensi menerima berbagai forma yang beroposisi. Karenanya, setiap maujud
(bendawi) berpotensi menerima dua kelayakan dan pangkat yang berlawanan; yang
satu dari forma dan lainnya dari materi. Forma menuntut kelanggengan dan
pemeliharaan keadaan-saat-ini suatu maujud, sedangkan materi menuntut perubahan
keadaan dan pemakaian forma lain yang berlawanan dengan forma di dalam dirinya.
Mengingat kemustahilan terpenuhinya dua ‘hak’ atau tuntunan yang beroposisi
pada satu maujud ini secara bersamaan pada satu waktu, maka satu materi tak
mungkin mengandung banyak forma yang berlawanan pada satu waktu. Anugerah Ilahi
meniscayakan penyempurnaan materi alam semesta—yang merupakan alam paling
rendah ini—dengan perantaraan bermacam-macam forma. Karena itu, kebijaksanaan
Ilahi menetapkan bahwa gerakan itu berlangsung terus-menerus dalam waktu yang
tidak terputus. Dia juga menetapkan materi selalu berubah-ubah dan berganti
tempat seiring perubahan forma sepanjang waktu. Keniscayaan menuntut setiap
forma memiliki saat tertentu yang khusus untuknya, sehingga setiap forma pada
gilirannya memperoleh jatah untuk mewujud.
“Kemudian, lantaran materi itu milik bersama, maka setiap forma
memiliki hak yang sebanding atas forman lain (untuk menjelma dalam materi).
Jadi, keadilan meniscayakan materi dengan forma A menjelmakan forma B dan
materi dengan forma B mengembalikan (penjelmaan) forma A. dengan pola seperti
ini, suatu materi berpindah-pindah diantara banyak forma secara bergantian.
Oleh sebab itu, demi “keadilan” dan terjaganya kelayakan serta hak segala
sesuatu, kita menyaksikan keberlangsungan dan kelanggengan (baqa’ al-anwa’),
dan bukan individu (al-afrad).”
Pada poin ini, muncul masalah lain, yaitu: bila segala sesuatu
berada dalam relasi setara dihadapan Allah, tiada “kelayakan” atau “hak” yang
mesti dipelihara supaya ada “keadilan” yang berarti pemeliharaan “kelayakan”
atau “hak”. Satu-satunya keadilan yang mungkin dibenarkan menyangkut Allah
ialah keadilan dalam arti memelihara kesetaraan. Sebab, dari segi kelayakan dan
pangkat, sebagaimana telah saya katakan, tiada perbedaan di sisi Allah. Maka,
keadilan dalam arti memelihara kelayakan atau kepangkatan di sisi Allah sama
dengan keadilan dalam arti memelihara kesetaraan. Oleh karena itu, keadilan
Ilahi mengharuskan tiadanya pengutamaan dan perbedaan di antara sesama makhluk.
Padahal, di alam wujud ini, kita menyaksikan timbulnya begitu banyak perbedaan.
Bahkan, alam ini semata-mata berisi perbedaan, keberagaman, dan kepangkatan.
Jawabannya: pengertian hak dan kelayakan segala sesuatu dalam
kaitannya dengan Allah tak lain dari ungkapan kebutuhan eksistensial atau
kebutuhan akan kesempurnaan eksistensial segala sesuatu kepada-Nya. Setiap
maujud yang memiliki kapasitas untuk mewujud atau memiliki salah satu jenis
kesempurnaan pasti akan Allah limpahi dengan wujud atau kesempurnaan itu,
karena Allah Swt Maha Melakukan dan niscaya Memberi karunia. Dengan demikian,
keadilan Allah—sebagaimana yang saya kutip dari Mulla Shadra di atas—tak lain adalah
rahmat umum dan pemberian menyeluruh kepada segala sesuatu yang memiliki
kapasitas untuk mewujud atau kapasitas untuk mendapatkan kesempurnaan tanpa
pernah menahan atau mengutamakan yang satu atas yang lain.
Ihwal apakah faktor utama di balik perbedaan kapasitas dan
kelayakan itu; danbagaimana mungkin kita menafsirkan dan memahami perbedaan
kapasitas dan kelayakan itu berdasarkan fakta bahwa segala sesuatu itu pada
esensinya berbeda dari segi kapasitas dan kelayakan. Padahal saya telah
menegaskan bahwa emanasi dan limpahan karunia Allah Swt tidak berujung dan
tidak berhingga; Inilah pertanyaan yang saya coba uraikan—dengan bantuan dan
taufik Allah—pada halaman-halaman berikutnya
Pengertian Keadilan
Keadilan pada hakikatnya
adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang
menjadi hak setiap orang adalah diakuai dan diperlakukan sesuai dengan harkat
dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa
membedakan suku, keurunan, dan agamanya. Hakikat keadilan dalam Pancasila, UUD
1945, dan GBHN, kata adil terdapat pada:
1. Pancasila yaitu sila kedua dan kelima
2. Pembukaan UUD 1945 yaitu alinea II dan IV
3. GBHN 1999-2004 tentang visi
Keadilan berasal dari kata adil. Menurut W.J.S. Poerwodarminto
kata adil berarti tidak berat sebelah, sepatutnya tidak sewenang-wenang dan
tidak memihak.
Pembagian keadilan menurut Aristoteles:
1. Keadilan Komutatif adalah perlakuan terhadap seseorang yang
tidak melihat jasa-jasa yang dilakukannya.
2. Keadilan Distributif adalah perlakuan terhadap seseorang sesuai dengan
jasa-jasa yang telah dibuatnya.
3. Keadialn Kodrat Alam adalah memberi sesuatusesuai dengan yang diberikan
orang lain kepada kita.
4. Keadilan Konvensional adalah seseorang yang telah menaati segala peraturang
perundang-undangan yang telah diwajibkan.
5. Keadilan Menurut Teori Perbaikan adalah seseorang yang telah berusaha
memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar
Pembagian keadilan menurut Plato:
1. Keadilan Moral, yaitu suatu perbuatan dapat dikatakan adila
secara moral apabila telah mampu memberikan perlakuan yang seimbang antara hak
dan kewajibannya.
2. Keadilan Prosedural, yaitu apabila seseorang telah mampu melaksanakan
perbuatan adil berdasarkan tata cara yang telah diterapkan.
·
Thomas Hobbes menjelaskan suatu perbuatan dikatakan adil apabila
telah didasarkan dengan perjanjian yang disepakati.
·
Notonegoro, menambahkan keadilan legalitas atau keadilan
hukum yaitu suatu keadan dikatakan adil jika sesuai ketentuan hukum yang
berlaku
Kejujuran
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ
“Kamu harus selalu jujur, maka
sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan…”
Jujur dalam arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan
kenyataan. Dan dalam pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan
batin. Maka orang yang jujur bersama Allah I dan bersama manusia adalah yang
sesuai lahir dan batinnya. Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai
kebalikan orang yang jujur, firman Allah I:
لِّيَجْزِيَ اللهُ الصَّادِقِينَ
بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ
Supaya Allah memberikan balasan
kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik…
(QS. Al-Ahzab:24)
Dan jujur adalah konsekuensi terhadap janji seperti firman Allah
I:
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا
مَاعَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ
Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati
apa yang mereka janjikan kepada Allah; (QS. Al-Ahzab:23)
Dan kejujuran itu sendiri dengan berbagai pengertiannya
membutuhkan keikhlasan kepada Allah I dan mengamalkan perjanjian yang
diletakkan oleh Allah I di pundak setiap muslim, firman Allah I:
وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا
غَلِيظًا . لِّيَسْئَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ
Dan Kami telah mengambil dari mereka
perjanjian yang teguh, agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar
tentang kebenaran mereka…(QS. Al-Ahzab:7-8)
Maka apabila orang-orang yang benar (jujur) akan ditanya, maka
bagaimana pertanyaan dan hisab bagi orang-orang yang berdusta dan munafik?
Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa
bagian. Al-Harits al-Muhasibi rahimahullahberkata:
‘Ketahuilah -semoga Allah I memberi rahmat kepadamu- sesungguhnya jujur
dan ikhlas adalah pondasi segala sesuatu. Maka dari sifat jujur, tercabang
beberapa sifat, seperti: sabar, qana’ah, zuhud, dan ridha.
Dan dari sifat ikhlas tercabanglah beberapa sifat, seperti: yakin, khauf (takut), mahabbah(cinta), ijlal (membesarkan), haya` (malu), dan ta’dzim (pengagungan). Jujur terdiri dari
tiga bagian yang tidak sempurna kecuali dengannya: 1) Kejujuran hati dengan
iman secara benar, 2) Niat yang benar dalam perbuatan, 3) Kata-kata yang benar
dalam ucapan.[i]
Dan tatkala kejujuran mempunyai ikatan kuat dengan iman, maka
Rasulullah r memaafkan (memakluminya) terjadinya sifat yang tidak terpuji dari
seorang mukmin, namun beliau menolak bahwa seorang mukmin terjerumus dalam
kebohongan, karena sangat jauhnya hal itu dari seorang mukmin. Para sahabat
pernah bertanya:
يَارَسُوْلَ اللهِ, أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ:
نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ
لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ.
“Ya Rasulullah, apakah orang beriman
ada yang penakut? Beliau menjawab,’Ya.’ Maka ada yang bertanya kepada beliau,
‘Apakah orang beriman ada yang bakhil (pelit, kikir).’ Beliau menjawab, ‘Ya.’
Ada lagi yang bertanya, ‘Apakah ada orang beriman yang pendusta?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak.’[ii]
Dasar pada lisan adalah memelihara dan menjaga, karena
ketergelincirannya sangat banyak dan kejahatannya tak terhingga. Maka waspada
darinya dan berhati-hati dalam menggunakannya adalah lebih taqwa dan lebih
wara`. Maka apabila engkau menemukan seseorang yang tidak perduli terhadap
omongannya dan banyak bicara, maka ketahuilah sesungguhnya ia berada di atas
bahaya besar. Rasulullah r bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dipandang berdusta
bahwa ia membicarakan semua yang didengarnya.”[iii]
Karena banyak bicara merupakan tempat terjerumus dalam
kebohongan dengan menceritakan sesuatu yang tidak pernah terjadi, saat ia tidak
mendapatkan pembicaraan, atau dengan mengutip berita seseorang yang pendusta
–sedangkan dia mengetahui-, maka ia termasuk salah seorang pembohong.
Setiap akhlak yang baik, bisa diusahakan dengan membiasakannya
dan bersungguh-sungguh menekuninya, serta berusaha mengamalkannya, sehingga
pelakunya mencapai kedudukan yang tinggi, naik dari tingkatan pertama kepada
yang lebih tinggi darinya dengan akhlaknya yang baik. Karena itulah, Rasulullah
r bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ
وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ
وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا
“Kamu harus selalu bersifat jujur,
maka sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya
kebaikan membawa ke surga. Dan senantiasa seseorang bersifat jujur dan menjaqa
kejujuran, sehingga ia ditulis di sisi Allah I sebagai orang yang
jujur.”
Demikian pula perkara pembohong yang terjatuh, sehingga ia
dipatri dengan kebohongan.:
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى
الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ, وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ
يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Jauhilah kebohongan, maka
sesungguhnya kebohongan membawa kepada kefasikan, dan sesungguhnya kefasikan
membawa ke neraka. Senantiasa seseorang berbohong, dan mencari-cari kebohongan,
sehingga ia ditulis di sisi Allah I sebagai pembohong.”[iv]
Di antara pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian, kuatnya
hati, dan jelasnya persoalan, yang memberikan ketenangan kepada pendengar. Dan
di antara tanda dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan bertentangan, yang
membuat pendengar merasa ragu dan tidak tenang. Dan karena itulah:
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ
وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ
“Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan
dan bohong adalah keraguan.”[v] Sebagaimana disebutkan dalam hadits.
Kesudahan jujur adalah kebaikan –sekalipun yang berbicara
menduga terjadi keburukan, firman Allah I:
فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْرًا
لَّهُمْ
Tetapi jikalau mereka benar (imannya)
tehadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. Muhammad
:21)
Dan dalam cerita taubatnya Ka’ab bin Malik t, Ka’ab t berkata
kepada Rasulullah r setelah turunnya ayat yang menjelaskan bahwa Allah I
menerima taubat tiga orang yang ketinggalan dalam perang Tabuk: ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Allah I menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan
sesungguhnya termasuk taubatku bahwa aku tidak akan berbicara kecuali yang
benar selama hidupku.” Dan ia berkata pula: ‘Maka demi Allah I, Allah I tidak
pernah memberikan nikmat kepadaku selamanya, setelah memberikan petunjuk Islam
kepadaku, yang lebih besar dalam diriku daripada kejujuranku kepada Rasulullah
r, bahwa aku tidak berbohong kepadanya r, lalu (kalau aku berbohong) aku
menjadi binasa sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta…’[vi]
Ibnu al-Jauzi rahimahullah meriwayatkan dalam
manaqib (riwayat hidup) Imam Ahmad, sesungguhnya dikatakan kepadanya:
‘Bagaimana engkau bisa selamat dari pedang khalifah al-Mu’tashim dan cambuk
khalifah al-Qatsiq? Maka ia menjawab, ‘Jikalau kebenaran diletakkan di atas
luka, niscaya luka itu menjadi sembuh.’[vii] Dan pada hari kiamat, dikatakan kepada manusia:
هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ
صِدْقُهُمْ
Ini adalah suatu hari yang bermanfaat
bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. …”. (QS. Al-Maidah :119)
Kejujuran membawa pelakunya bersikap berani, karena ia kokoh
tidak lentur, dan karena ia berpegang teguh tidak ragu-ragu. Karena itu
disebutkan dalam salah satu definisi jujur adalah: berkata benar di tempat yang
membinasakan.[viii]
Dan al-Junaidi rahimahullah mengungkapkan hal
itu dengan ucapannya: Hakekat jujur adalah bahwa engkau jujur di tempat yang
tidak bisa menyelamatkan engkau darinya kecuali bohong.’[ix]
Berapa banyak orang yang suka membual menjadi celaka dalam
membuat-buat pembicaraan untuk menarik perhatian, dan dalam membuat cerita
untuk membuat orang-orang tertawa. Lalu mereka kembali dengan perasaan senang
dan ia kembali dengan dosa berbohong. Maka ia menjadi binasa, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِاْلحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ
الْقَوْمَ, فَيَكْذِب, وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.
“Celaka bagi orang yang berbicara
untuk membuat orang-orang tertawa, lalu ia berbohong, celakalah baginya,
celakalah baginya.”[x]
Sesungguhnya dusta yang paling berat dan paling besar dosanya
adalah berbohong kepada Allah I dan Rasul-Nya, ia menyandarkan kepada agama
Allah I yang bukan darinya, dan mengaku dalam syari’at yang dia tidak
mengetahui, membuat nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu
karena menghendaki kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang
sangat jahat terhadap agama Allah I.
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ
عَلَى أَحَدٍ, فَمَنْ كَذبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta terhadapku
bukan seperti berdusta terhadap orang lain, maka barangsiapa yang berdusta
secara sengaja terhadapku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.“[xi]
Karena alasan itulah, sebagian sahabat merasa khawatir
meriwayatkan hadits Rasulullah r terlalu banyak, karena takut terjatuh dalam
kesalahan yang tidak disengaja, berarti mereka menyandarkan kepada Rasulullah r
yang tidak pernah beliau katakan. Dan termasuk hal itu adalah Anas bin Malik t
ketika ia berkata: ‘Sesungguhnya menghalangi aku meriwayatkan hadits terlalu
banyak, sesungguhnya Nabi r bersabda:
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang sengaja berbohong
kepadaku, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.’[xii]
Dan termasuk perkara yang menunjukkan tambahan kehati-hatian
mereka dalam mengutip hadits Rasulullah r bahwa mereka tidak menambah dan tidak
mengurangi. Pendirian itulah yang diriwayatkan oleh Muslim, ketika Busyair
al-’Adawi meriwayatkan hadits di hadapan Ibnu Abbas t, dan Ibnu Abbas t tidak
memperdulikannya, tidak memperhatikannya dan tidak memandang kepadanya. Maka
Busyair berkata, ‘Wahai Ibnu Abbas, kenapa engkau tidak mendengarkan
pembicaraanku, aku menceritakan kepada engkau tentang Rasulullah r dan engkau
tidak mendengarkan? Ibnu Abbas t berkata, ‘Sesungguhnya kami, apabila mendengar
seseorang berkata, ‘Rasulullah r bersabda,’ pandangan kami langsung serius dan
kami memperhatikannya dengan pendengarannya. Maka tatkala manusia menaiki
kesusahan dan kemudahan (menganggap enteng persoalan hadits, wallau a’lam),
kami tidak mengambil dari manusia kecuali yang kami kenal.”[xiii] Maksudnya, tatkala manusia berbicara dalam perkara-perkara yang
susah dan mudah, tidak perduli, dan tidak berhati-hati dari terjatuh dalam
kesalahan, kami menjadi berhati-hati mengambil ilmu dari manapun jua.
Hendaklah berhati-hati orang-orang yang terburu-buru dalam
berfatwa tanpa ilmu dari berbohong terhadap agama Allah I. Hendaklah merasa
takut orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits munkar dan maudhu’ dari
keikutsertaan berbohong terhadap Rasulullah r. Sungguh ucapan seseorang: aku
tidak tahu –sekalipun berat terhadap nafsunya- lebih mudah baginya daripada berbohong
kepada Rasulullah r.
Dan supaya semua hidupmu menjadi benar, dihasyar (digiring pada hari kiamat) bersama orang-orang jujur,
maka jadikanlah tempat masukmu benar dan tempat keluarmu benar, jadikanlah
lisanmu lisan yang benar. Semoga Allah I memberikan rizqi kepadamu langkah yang
benar dan tempat yang benar. Maka jujur adalah ketegasan dan keterusterangan
dan berpaling darinya adalah penyimpangan, dan keadaan orang yang beriman
adalah jujur, dan:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ
الَّذِينَ لا َيُؤْمِنُونَ بِئَايَاتِ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Sesungguhnya yang mengada-adakan
kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan
mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl :105)